Kuliner

Nasi Liwet Solo, Warisan Kuliner yang Menyatukan Kebersamaan

Nasi Liwet Solo, Warisan Kuliner yang Menyatukan Kebersamaan
Nasi Liwet Solo, Warisan Kuliner yang Menyatukan Kebersamaan

JAKARTA - Mengunjungi Kota Solo seakan belum lengkap bila belum mencicipi nasi liwet. Kuliner tradisional ini begitu mudah dijumpai di sudut-sudut kota, dari warung sederhana hingga restoran besar. Nasi liwet Solo dikenal dengan rasa gurihnya yang khas, disajikan bersama opor ayam atau suwiran ayam, telur pindang atau telur kukus, sayur labu siam, dan santan kental atau areh yang memperkaya rasa.

Nasi liwet bukan sekadar hidangan lezat, tetapi juga sarat makna filosofis. Nasi putih dipercaya melambangkan hati yang bersih, telur sebagai simbol sumber kehidupan, sementara suwiran ayam mencerminkan nilai berbagi. Biasanya, hidangan ini disajikan di atas daun pisang, menambah aroma khas yang menggugah selera, dan dinikmati dengan cara lesehan, baik di pagi hari maupun menjelang senja.

Sejarah Panjang yang Terukir

Riwayat nasi liwet Solo terekam dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa yang ditulis antara 1814 hingga 1823 M. Dalam naskah tersebut, proses memasak nasi liwet sudah disebutkan sejak 1819 M. Terdapat pula catatan bahwa hidangan ini sempat dikaitkan dengan ritual penolak bala ketika Pulau Jawa diguncang gempa besar. Masyarakat kala itu memanjatkan doa keselamatan sambil menyajikan nasi liwet sebagai bagian dari tradisi.

Asal-usul nasi liwet dapat ditelusuri ke Desa Menuran, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Masyarakat setempat pada awalnya memasak nasi liwet untuk acara syukuran, dengan harapan tuan rumah mendapatkan keberkahan dan keselamatan. Kelezatannya kemudian menarik perhatian hingga sampai ke lingkungan istana pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana IX (1861–1893). Di Keraton Surakarta, nasi liwet menjadi hidangan penting dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Jejak dari Zaman Mataram Islam

Cikal bakal nasi liwet diyakini sudah ada sejak 1582 M, pada masa berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Masyarakat kala itu terinspirasi oleh kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap nasi samin. Karena bahan-bahan seperti samin sulit diperoleh, masyarakat Jawa menciptakan versi lokal dengan nasi gurih berbahan santan, yang kemudian disajikan untuk memperingati hari kelahiran Nabi.

Perjalanan Menjadi Kuliner Populer

Popularitas nasi liwet semakin berkembang pada 1934, ketika warga Desa Menuran mulai menjualnya di wilayah Solo dan Surakarta. Sejak saat itu, nasi liwet tak hanya menjadi santapan rakyat, tetapi juga digemari kalangan bangsawan, termasuk di lingkungan Keraton Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta.

Kini, nasi liwet Solo telah melampaui fungsi sebagai makanan sehari-hari. Hidangan ini menjadi bagian dari identitas budaya Jawa yang sarat nilai kebersamaan dan doa. Setiap suapan bukan hanya menyuguhkan cita rasa, tetapi juga mengingatkan pada sejarah panjang, tradisi, serta filosofi hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index